Rekonstruksi Wajah Kebangsaan melalui Jihad Anti-Korupsi
Ilmupedia.web.id - Korupsi
merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi didengar dan disaksikan
oleh masyarakat Indonesia. Sejak republik ini berdiri, korupsi selalu
bersemayam dalam dinamika pkembangan berbangsa dan bernegara. Bahkan
begitu ruyamnya korupsi di Indonesia, seorang wartawan senior Mochtar
Lubis mengatakan, praktik korupsi di Indonesia telah membudaya.
Sedangkan Muhammad Hatta pun demikian, bahwa korupsi "sudah menjadi seni
dan bagian budaya bangsa Indonesia." Terlihat hampir semua elemen
negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif terjangkit kasus
korupsi. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1991, bahwa "korupsi
adalah setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara."
Identifikasi
Korupsi masih menggerogoti setiap pilar-pilar bangsa. Banyaknya kasus
korupsi mengisi media massa secara vulgar, yang dilihat seluruh
masyarakat dan generasi penerus bangsa Indonesia. Kondisi ini, merusak
kehidupan masyarakat, mendegradasi nilai-nilai kehidupan, melemahkan
demokrasi dan supremasi hukum, yang berujung terjadinya berbagai
disparitas Hak Asasi Manusia (HAM) dan disintegrasi pembangunan
nasional, baik infrastruktur dan moralitas berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana pendapat Koentjaraningrat bahwa "korupsi sebagai salah satu
kelemahan dalam pembangunan bangsa." Tindakan penyelewengan dibidang
politik dan ekonomi, menanamkan benih-benih korupsi, layaknya sebuah
lingkaran setan yang terus menghantui dalam mengembangkan penerus bangsa
untuk memberantas korupsi. Ataukah menurut Bibit S.rianto bahwa
"korupsi bagaikan bakteri, korupsi tidak pernah berhenti berkembang biak
dalam satu siklus reproduksi yang sulit dideteksi. Korupsi telah
melumpuhkan fungsi berbagai organ-organ birokrasi negeri ini."
Raport Merah
Sungguh
sangat miris melihat bangsa Indonesia, menurut hasil penelitian
Transparency Internasional (TI) pada tahun 2015, pencapaian Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebesar 36 poin dan menempati urutan 88
dari 168 negara. Sedangkan pada tahun 2014 sebesar 34 poin dan
menempati 117 dari 175 negara. Kenaikan IPK Indonesia relatif lambat dan
masih dalam taraf negara koruptor terbesar di dunia, dibandingkan
dengan IPK negara tetangga seperti Malaysia (50), dan Singapura (85),
dan sedikit di bawah Thailand (38).
Penilaian
data IPK Indonesia pada tahun 2014, menurut Indonesian Corruption Watch
(ICW) terdapat 629 kasus dan 1328 tersangka dimana kebanyakan terjadi 2
tahun sebelumnya, dengan total kerugian negara sebesar Rp 5,29 triliun.
Selanjutnya pada tahun 2015, terdapat 550 kasus dan 1.124 tersangka
dengan kerugian negara sebesar 3,1 triliun. Sisi penanganan perkara,
kejaksaan Agung RI menempati posisi teratas dengan 369 kasus korupsi,
kepolisian RI 159 kasus, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak
30 kasus. Sedangkan jabatan tersangka yang paling banyak adalah
pejabat atau pegawai pemda/kementerian, disusul direktur dan komisaris
pegawai swasta, kepala dinas, anggota DPR/DPRD/DPD/ serta kepala
desa/lurah dan camat.
Sementara
untuk tahun ini, data IPK Indonesia menurut survei lembaga Political
and Economic Risk Consultancy (PERC), menempati posisi 15 dari 16 negara
kawasan Asia Pasifik, dengan skor IPK sebesar 8.00 dari skala 0-10 (0
berarti sangat bersih dan 10 sangat korup). Walaupun skor IPK membaik,
tetapi Indonesia masih menempati negara terkorup kedua di kawasan Asia
Pasifik yang hanya menang dari India. Penilain PERC, berlandaskan
kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kurang progresif dalam
menghentikan legitimasi kelompok tertentu untuk melakukan hal
sewenang-wenang di sektor publik dan sektor khusus. Begitupula
kekecewaan rakyat terhadap tindakannya, yang tidak memberikan dukungan
lebih kepada KPK dalam menangani berbagai departemen dan DPR. Bahkan,
ditahun ini terjadi upaya revisi UU KPK.
Penguatan
perumusan pemberantasan korupsi telah diupayakan sedemikian rupa, mulai
dari pengesahan perangkat hukum dan kelembagaan yang telah dibuat,
seperti UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, mengesahkan
instrument internasional yakni United Nations Convetion Against Corruption
ke dalam UU No. 7 tahun 2006, Komite Pemberantasan Korupsi dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Tak hanya itu, berbagai
sosialisasi pencegahan dan pemberantasan korupsi, belum juga mencapai
hasil maksimal. Seakan kejahatan korupsi beregenerasi dan berevolusi
kedalam bentuk baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagaimana
menurut Samuel Hantington bahwa korupsi terdapat dan lebih umum dalam
masyarakat yang sedang tumbuh yang berkaitan dengan modernisasi sosial
dan ekonomi yang cepat.
Berjamaah Memberantas Korupsi
Urgensi
dalam pemberantasan korupsi adalah kolektifitas dari setiap elemen
bangsa. Apalagi, dukungan pemimpin sangat diperlukan untuk memberantas
kasus korupsi, sebagaimana pendapat John St Quah, Professor emeritus National Unversity of Singapura, di dalam Curbing Corruption in Asian Countries, An Impossible Dream (2013) dan juga Robbert Klitgaard dalam karyanya yang berjudul Controlling Corruption (1991) menegaskan bahwa dukungan kepemimpinan yang kuat (political will of the top political leader) merupakan salah satu kunci utama keberhasilan agenda pemberantasan korupsi dalam suatu wilayah.
Budaya
hukum perlu dibangun dikalangan aparat penegak hukum. Hal ini penting
mengingat bahwa penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, sangat
bergantung pada seberapa kuat etika, integritas dan komitmen aparat
penegak hukum itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran Romli
Atmasasmita, bahwa salah satu masalah mendasar yang mendesak dan segera
harus diselesaikan adalah masalah pemberdayaan birokrasi atau
bureaucratic engginering.
Komisi Ombudsman Nasional menunjukkan bahwa tumpulnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh perbuatan maladministrasi (maladministrtation) yang dilakukan penyelenggara Negara, khususnya aparat penegak hukum (low enforcer)
dan lembaga peradilan seperti penanganan yang berlarut-larut, bertindak
sewenang-wenang, pemalsuan dokumen, dan lain-lain. Korupsi menyebabkan
tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam
birokrasi. Jika birokrasi telah dicemari oleh korupsi dengan berbagai
bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan
kualifikasi tidak akan pernah terlaksana, sehingga menurunkan kualitas
birokrasi.
Keadaan
ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan
sosial dan bahkan mungkin kemarahan sosial. Jajaran pemerintahan hingga
penegak hukum tak terlepas dari kasus korupsi. Mereka sebagai
percentohan dalam mencegah dan memberantas kasus korupsi, ternyata
berperan sebagai inisiator dan eksekutor dalam merampok negara. Lantas
untuk mencapai pemberantasan korupsi, diperlukan kolektifitas dari
berbagai elemen bangsa. Menurut Samuel Huntington dalam Political Order In Changing Society
(1968) menegaskan bahwa transisi politik dan demokrasi akan cepat
terkonsolidasi dan menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik (good govermance)
ketika tiga elemen penting dapat hadir bersamaan, yakni penegakan
hukum, pemimpin yang tegas dan disiplin yang tinggi. Sehingga baik dari
kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bersama-sama dalam
satu berkiblat untuk memberantas kasus korupsi bukan untuk bernegosiasi
dalam melegitimasi komunal-komunal tertentu, apalagi untuk saling
berhadap-hadapan.
Ketika peperangan di luar negeri lagi begitu menggoda dan memukai masyarakat Indonesia untuk ber-jihad,
sekarang saatnyalah semangat dan energi jihad, harus diarahkan ke dalam
negeri untuk mengatasi krisis multidimensi termasuk kasus korupsi.
Gerakan secara massif, yang berasal dalam diri manusia, berasal dari
iman atau keyakinan yang dapat menggerakkan diri setiap manusia bukan
digerakkan oleh siapapun. Suatu gerakan intensif dan progresif, yang
hanya menawarkan dua kemungkinan: menang atau mati syahid. Suatu
gerakan yang dapat merangkul seluruh tataran ekonomi, pendidikan dan
jabatan. Bukan gerakan yang hanya ber-tahta, be-intelek, dan ber-uang.
Suatu gerakan yang dapat merangkul seluruh keyakinan, seluruh agama baik
hindu, budha, Kristen, islam dan konghucu. Bukan hanya untuk orang
Islam, karena pada dasarnya jihad berlandaskan keimanan, dan
keyakinan. Menarik sebuah contoh gerakan “Bela Islam III” atau “212”
yang diikuti oleh 7 juta lebih mujahid Indonesia, seluruh golongan baik
dari ekonomi, jabatan, intelektual, hingga yang memiliki kekurangan
secara fisik turut mengikuti gerakan ini, bahkan jarak bukanlah
halangan.
Gerakan jihad perlu diproklamirkan di bangsa ini secara merata. Ber-jihad
dalam mencegah dan memberantas korupsi. Korupsi adalah terorisme, dan
teorisme adalah bentuk nyata kekafiran yang terjadi. Ketika kekafiran
diidentikkan sebagai pengingkaran keberimanan, maka korupsi juga adalah
pengingkaran keberimanan, karena pada dasarnya seluruh agama dan nalar,
tentu mengindahkan yang namanya korupsi. Pada dasarnya, korupsi adalah
pembunuh kejam yang menelan berbagai penerus bangsa untuk membawar
hutang kolosal.
Mujahid
(pelaku jihad) anti korupsi pada garis depan bukanlah hanya kepada
penegak hukum, melainkan seluruh manusia yang memiliki keimanan dan
keyakinan. Meneguhkan hati nurani yang kuat untuk melawan penyakit
kronis atau terorisme ini. Sedari dini, mulai dari keluarga, hingga
ketingkat pendidikan. Pendidikan tersebut sebagai langkah prefentif
korupsi, untuk melahirkan para muhajid. Penguatan pendidikan nilai-nilai
religious harus segera dikumandangkan diberbagai sekolah. Ditunjang
berbagai pengajar-pengajar yang mampu menanamkan dan menguatkan gerakan
ini yang ditopang gerak keindonesiaan. Meneguhkan para mujahid jajaran
pemerintahan, sebagai sentrum vital dalam meneguhkan perlawanan
terorisme korupsi ini. Para kolonialisasi yang merenggut jutaan orang,
mimpi dan cita-cita seluruh manusia yang belum melihat Indonesia.
Dari gagasan ini, sesegera untuk mengumandangkan jihad
nasional dalam memberantas korupsi. Efek yang ditimbulkan dari mujahid,
akan mampu mengurai benang kusut dan membasmi terorisme korupsi di
republik Ini. Sehingga terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
(Ksatriawan Zaenuddin, Universitas Muhammadiyah Makassar, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Pemerintahan)
DAFTAR PUSTAKA
Bibit S. Rianto. Koruptor Go to HELL!: Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia. Jakarta Selatan: PT Mizan Publika. 2009.
Katu, Alim. Korupsi Malu Ah!. Makassar: Pustaka Refleksi. 2007.
Komisi Ombudsman Nasional, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Datang. Jakarta : Komisi Ombudsman, 2002.
Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: Transparency Internasional Indonesia. 2008.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. Buku Ajar Pendidikan dan Budaya Antikorupsi (PBAK). Jakarta Selatan. 2014.
Nasional Kompas.com. OC. Kaligis Pengacara Ke 10 yang Terjerat Kasus Korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/2015/07/15/17201321/OC.KaligisPengacara.Ke-10.yang.Terjerat.Kasus.Korupsi?page=2
Transparency
Indonesia (TI). Rentan Suap Para Pejabat Lembaga Penegak Hukum.
http://www.ti.or.id/index.php/news/2016/02/17/rentan-suap-para-pejabat-lembaga-penegak-hukum
Indonesian Corruption Watch (ICW):
Laporan Tahunan 2015 http://www.antikorupsi.org/id/doc/laporan-tahunan-2015
Tren Pemberantasan Korupsi 2014.
http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Laporan%20Tahunan/ANNUAL%20REPORT%202014.pdf
PERC.
PERC’s 2016 Report on Corruption in Asia. Political & Economic Risk
Consultancy Ltd. 2016. http://www.asiarisk.com/subscribe/dataindx.html
Belum ada Komentar untuk "Rekonstruksi Wajah Kebangsaan melalui Jihad Anti-Korupsi"
Posting Komentar